Ilmu Itu Tidak Penting Tetapi Perlu, Gelar Itu Tidak Perlu Tetapi Penting

Website Instan

 MansurOleh: Mansur (guru saja), Sasak Diaspora Sibolga

Satu-satunya alasan yang membuatnya senang begitu ujian skripsi selesai adalah bahwa “Dia tidak akan menemukan ujian lagi” Ujian yang dimaksudnya adalah soal-soal ulangan sekolah, ujian semester, dan bentuk-bentuk tes lainnya. Dan… .. terakhir adalah Ujian Skripsi. Mengapa demikian, karena selama ini dia merasa bahwa ujian adalah sesuatu yang tidak dia senangi tetapi terpaksa harus dilaluinya dengan sebaik-baiknya. Jujur saja dia tidak suka dengan bentuk, model maupun budaya ujian sekolahan yang bagi dia tidak menunjukkan kemampuan sebenarnya dari seseorang, tetapi hanya untuk melegalkan selembar ijazah atau sepotong gelar.

Terakhir dia berprinsip bahwa mempelajari segala sesuatu bukan agar dia selalu lulus dalam setiap ujian, tetapi itu perlu agar dia menguasai segala sesuatu dan dapat memilihnya dengan baik sesuai keperluan kehidupan dia. Sedangkan untuk menghadapi ujian yang sangat penting untuk kelulusan, dia cukup mengetahui materi pelajaran yang penting-penting saja(baca satu malam sebelum ujian ) dan besoknya silang/isi lembar jawabannya, selesai, titik.

Alhasil, nilai ujian semesternya memang tidak memuaskan banyak orang (dia sendiri sangat puas karena sudah lebih dari sekedar lulus).  Sangat berbeda ketika dia SMA karena rangking pertama tidak pernah lepas hingga tamat, tetapi dia merasa tidak mendapatkan sesuatu yang perlu dan berharga dari hasil itu, bahkan untuk mendapatkan seorang pacar saja dia tidak bisa. Lain halnya ketika dia kuliah dengan IPK yang mungkin tidak berharga tetapi dia mendapatkan semua pelajaran yang perlu untuk hidup, dan bahkan dia bisa mendapatkan istri dari salah satu kegiatan saja.

Tidak berlebihan kalau dia sangat senang ketika ujian skripsi berakhir dan dia dipastikan mendapat nilai A, karena skripsi itu merupakan hasil pencariannya dari hampir semua skripsi di perpustakaan  ikip malang selama tiga semester hanya untuk membuat sesuatu yang berbeda. Keluar kampus dia yakin tidak akan menemukan ujian atau tes lagi, termasuk ujian masuk pegawai negeri karena dia lulus dengan status beasiswa ikatan dinas (TID). Dia pun tidak akan sanksi untuk mengajar disekolah mana saja, karena selama kuliah dia tidak sibuk belajar kuliah tetapi sempat mengajar di beberapa bimbingan belajar, dan diapun tidak gentar untuk mengajar anak kuliahan karena selama kuliah tidak selalu duduk dibangku mahasiswa tetapi pernah menjadi asisten dosen.

”Akhirnya Lulus Juga”. Dan diapun pulang kampung walau perasaan was-was apakah ilmunya sudah cukup hanya untuk menyandang gelar SPd yang di kampungya dianggap lebih penting ketimbang  ilmunya.   Dia sering melihat orang yang pulang haji lalu diberi gelar ”tuan” dan setiap pertemuan dusun pak tuan selalu diberi tempat dan waktu untuk bicara, bahkan setiap Jum’at kerap dipaksa menjadi khatib dan selalu didahulukan untuk menjadi imam.  Tetapi dia sadar ilmunya belum setaraf dengan kebutuhan orang dusun, walaupun ternyata dia diterima di setiap sekolah/kampus yang dia datangi dengan membawa ilmu yang dibutuhkan di tempat itu, sesekali saja dia harus menunjukkan gelarnya untuk lebih meyakinkan. 

Pilihan terakhirnya jatuh ke UNRAM, dengan sedikit menunjukkan kemampuan plus keberanian dan penampilan yang sok meyakinkan untuk menembus gedung rektorat yang paling keren segumi sasak, terbukalah ruangan Prof. Widodo/Rektor saat itu. ”Saya menghargai kemampuan saudara untuk menjadi Dosen Kimia, tetapi peraturan dosen UNRAM minimal harus MPd/Msi”. Itulah jawaban yang tersirat dari rekomendasi rektor yang menyatakan dia diterima sebagai Teknisi Laboratorium dan disarankan kerja langsung sambil menunggu SK. Ok..lah. Dia pun menerimanya karena dijanjikan juga kalau ada kesempatan S2 nanti akan diikutkan, baru sah menjadi dosen. ”Memang gelar penting juga”?!.

Namun sekali lagi nasip mengatakan lain, Sebelum SK di UNRAM turun sebuah telegram dari pak Wardiman/ Mendiknas saat itu, menuliskan bahwa SK saudara telah diterbitkan untuk SMA Negeri Plus Matauli Sibolga atas kerjasama pemerintah dengan pak Feisal Tanjung/Pangab saat itu dan pak Akbar Tandjung/Menpera saat itu, dan harus segera ke Jakarta untuk pembekalan ke UI dan SMA TN Magelang. Terakhir dia ketahui bahwa enam orang lulusan TID yang teratas dari tiap jurusan di IKIP Malang diboyong semua ke Sibolga, bersamaan dengan lulusan TID yang sama dari IKIP Surabaya, IKIP Yogya, IKIP Bandung dan IKIP Jakarta. Pada saat pembekalan itu sempat terjadi dialog iseng, ”Mungkin saya dikira orang Jawa ya… makanya saya ditarik juga ke Sibolga”. Lho… kenapa ? tanya seorang kawan. ”Orang Jawa kan hebat-hebat, pantes dipilih pak Feisal/pak Akbar”, jawabnya menyindir. ”Akh… Aku saja tadi ngira kamu orang Jawa,  kok iso ngomong Jowo”, ”Kita dipilih kesana berarti kita sama-sama dinilai mampu….. sasak, jawa, sunda, atau betawi sama …. dst”. Jawab kawan lainnya.

Di kampoengnya yang  baru itu diapun kembali mendapat pelajaran baru, bahwa Sebenarnya guru adalah pelajar dari murid-muridnya, gelar SPd pun tidak berarti kecuali bekal kemampuan untuk belajar ilmu baru dan baru. Satu hal yang pasti sebagai guru, pelajaran yang dia peroleh dari SD (gak sempat TK lho…) sampai kuliah telah membuat dia memberi pelajaran dan penilaian ke siswa dengan tidak hanya berdasarkan buku dan hasil ujian berupa skor test. Dia lebih menyukai siswa yang pinternya sedang-sedang tetapi banyak akalnya (logika dan kretifitasnya jalan) ketimbang siswa-siswa yang pinter sekali tetapi pendiam (terlalu baik, penurut dan pasiv).

Kepada rekan-rekan guru dalam setiap diklat yang dia sajikan di beberapa sekolah, diapun selalu mengajak untuk membuat pembelajaran yang bermakna melalui pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi terkini untuk mengajar maupun belajar sendiri. Bukan tingkat kesulitan materi yang menjadi perhatian tetapi tingkat pemahaman siswa yang menjadi penentu. Bukan sekedar siswa pinter (nilai tinggi) yang kita hasilkan tetapi lebih penting adalah siswa cerdas yang kreatif. Bukan habisnya materi yang menjadi tujuan hadir dikelas tetapi ketuntasan pembelajaran yang menjadi tujuan. Bukan kepuasan karena semua siswa lulus UAN yang menjadi kenangan tetapi kepuasan karena kita dan siswa sama-sama memperoleh pelajaran yang berharga dari setiap detik pertemuan  yang akan memberi kita  umur panjang untuk terus menerus belajar.

 

Mungkin guru didusunnya masih seperti tuan yang baru pulang haji, atau sudah mendapat gelar tuan guru ? Sebagai guru dia tidak akan menyangsikan mereka belum berbuat yang terbaik ! Sebagai anak dusun dia masih risau ?

SimpleWordPress

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here