Konsistensi Sasak

Website Instan

HAzairin R. Junep[Sasak.Org] Saya akan malu sekali kalau harus memberitahukan perkara apa yang dapat ditinggalkan seorang mukmin yang telah meninggal sebagai warisan abadinya di dunia ini. Karena dari yang sedikit pembaca Sasak.org ini adalah para ahli hijib dan tentu ahlul sunnah wal jamaah, hafal diluar kepala. Salah satu yang saya sukai adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermaat inilah yang membuat saya jadi sampai sejauh ini. Menembus awan gemawan, melintasi samudera dan menyelam dilautan kemaha kuasaan Alla SWT. Guru saya yang banyak sekali jumlahnya, ada yang TG dan bukan TG alias ustad biasa saja mengajarkan saya tentang “Cahaya” . Terus menerus saat belajar mata pelajaran apa saja cahaya ini terus disinarkan kea rah wajah kami murid murid kecilnya. Seterusnya cahaya itu memantul dari wajah kami ke wajah semua orang yang berpapasan dengan kami. Cahaya itu disebut keselamatan atau salam! Guru kami tidak banyak cakap kalau tidak perlu tetapi gerak geriknya penuh dengan contoh. Contoh itu adalah satu satunya jalan yang harus kami ikuti. Kami jadi mereproduksi gerakan, ekspresi dan pandangan guru kami dalam alur kehidupan kanak kanak itu. Semua berjalan sangat alamiah tahu tahu kami tumbuh dewasa dan memiliki peta yang bergerak sesuai dengan kemajuan daya pikir dan wawasan kami. Kami dengan mudah memahami bahwa diseberang sana ada kegelapan tanpa pernah guru kami mengatakannya.Saya baru mengerti mengapa ilmu itu akan jadi penyelamat guru kami kelak di hari pembalasan. Berapa ribu anak manusia terselamatkan dan akan terus terselamatkan dengan cahaya yang sama sepanjang zaman.

Dari surau kecil di sisi jalan lainnya suara ibu ibu tiada henti melantunkan ayat ayat Al Qur’an dan ditutup dengan hijib. Alunan bacaan itu terus diulang tiap akan dan sesudah shalat berjamaah. Boleh jadi 18 jam sehari kuping orang dasan mendengar teguran lembut hinga keras dari Allah SWT yang disampaikan ustad yang setia mengawal spiritual anak bangsanya sejak muda hingga tua. Al Qur’an sangat jelas menerangkan tuntunan dan larangan. Kejamnya hukuman dan detilnya kutukan mengenai setiap orang dari tokoh sampai rakyat jelata tiada kecuali. Kalau ada orang mengkritik pemimpinnya, itu tak seberapa dibandingkan dengan bagaimana Allah menghajar ummatnya seperti Fir’aun, Korun dan kawan kawan. Ustad disurau kecil itu terus menerus menyorotkan cahaya ke wajah wajah ibu ibu yang banyak berduka oleh permaianan hidup para durjana. Mereka adalah lapisan yang paling menderita di gumi paer. Cahaya tidak juga menghentikan mereka menjadi babu dan budak belian di negeri orang. Antara harapan dan usaha keras tidak sejalan dengan realitas masyarakat yang maju tidak mundurpun enggan.

Sejak pertempuran di Gabimas yang berjarak 100 meter dari surau itu dimana HM Faisal sang pemberontak juga tinggal, sampai detik ini tak ada putera dasan yang berjuang mengangkat harkat martabat anak bangsanya dari kenistaan. Mengapa kita kehilangan pemuda dengan elan vital –daya hidup sedahsyat HM Faisal itu?. Mengapa filantropis yang heroik tidak kunjung lahir di dasan itu?. Tidak lagi tampak cahaya itu diwajah anak anak muda dasan, bagaimana akan mengharap perubahan kearah yang lebih menyelamatkan?. Ada perbedaan tajam antara generasi yang dapat dilihat dari bagaimana guru memantulkan cahaya ke wajah murid kecilnya. Mereka terkait oleh benang benang bathiniah bagai pelangi yang menyentuh si murid diujung satu dan guru dijung lainnya. Murid mengenal guru seperti mengenal dirinya. Rasa hormat tertanam dalam diri sehingga murid dan guru punya rasa respek luar biasa yang berlandaskan cinta dan harapan bersama. Ada rasa rindu yang menggalaukan bila guru dan murid terpisah karena hari libur. Tak ada seorangpun yang pandai merangkai kata oleh sebab itu rindu berubah jadi cahaya yang terpendar lebih terang. Itulah cahya ilmu yang menyelamatkan.

Bersama lenyapnya hutan yang menyejukkan gumi paer nafsu manusia makin memanas seiring isu pemanasan global. Guru berjalan kemana suka murid bermain tanpa batas. Jangankan cahaya, bertatap mukapun enggan karena masing masing sibuk dengan kehawatiran diri sendiri. Contoh tak lagi dapat diadaptasi sebab konsistensi telah punah dari peradaban ajar mengajar. Permainan anak didisain untuk membuat mereka adiktif dan terus menuntut kepuasaan perasaan semu. Produsen adalah penulis sekenario dan sutradara yang mengawasi perkembangan permainan bak kurikulum sekolah. Dan terbentuklah kepribadian serba praktis. Sekolah adalah tempat bertemu dan ngerumpi baik bagi murid ataupun guru. Topiknya tak jauh jauh hanya soal permainan baru dan hiburan baru. Wajah tak lagi bertemu karena semua menyatu dalam rupa tembok tembok mati. Itulah sebabnya ketika murid telah menjadi pejabat mereka bermuka tembok semua.

Kita mulai menyalahkan materialisme, uang dan harta padahal semua itu bersifat netral. Tidak ada yang salah dengan seisi dunia ini. Yang salah adalah cara kita memandang dan cara kita membangun selera. Uang adalah materialisasi dari usaha kerja keras dan doa kita. Seharusnya kita memanfaatkannya untuk terus membangun kebaikan tapi sebaliknya kita jadi rusuh karena alat yang kita bikin bisa berubah jadi senjata mematikan. Kalau ia adalah wujud kerja keras dan doa maka kita tak dapat memperolehnya kalau hanya berdiam diri. Kerja keras adalah jalan sedang doa adalah energi pembersih jalan itu. Hilangnya keseimbangan dengan munculnya beribu masalah dimulai dari satu perkara dan satu orang. Ketika kita lalai perkara kecil berkembang dan menular keman mana lalu kita meradang karena merasa ancaman ada dimana mana. Kita pandai menghimbau agar mulai dari diri tapi tak ada yang mulai sebab tak satupun sanggup menjaga konsistensi diri.

Lihatlah pondok pondok mahasiswa yang dahulu sunyi kini penuh dengan barang elektronika. Tetap tidak ada buku tapi fasilitas setingkat ensiklopedia britanika dapat di akses dengan komputer canggih bahkan HP kalau mau tapi pajangan itu tak lebih dari hiasan senilai gegandek bambu dari Loyok atau pecatu tanah liat dengan anyaman ketak dari Banyumulek. Tidak membuat sang mahasiswa jadi siswa yang maha tapi sekedar orang muda yang beralu lalang ke kampus untuk duduk dengar dan lupakan tau tau lulus S1 bahkan S3. Tidak ada pemuda yang bergelora saat melihat orang tertindas. Tidak ada cahaya dari wajah ke wajah, cukup dengan HP atau email. Hubungan interpersonal telah terhalang oleh perantara alat canggih. Mahasiswa itu menjadi terisolir dan sang waktu akan membekukan hatinya, nalarnya dan wajahnyapun membatu. Ahmad Soekarno pernah meminta seorang pemuda untuk mengubah dunia, itu dahulu ketika dada para pemuda bergelora oleh idealisme dan cahaya. Sekarang jangan minta pemuda karena mereka hanya pandai teriak dan merobohkan dinding kantor dan melempar aparat saat berdemo tanpa memahami sedang berjuang untuk apa sebab tenaganya diperoleh dari nasi bungkus 50 ribu rupiah. Bukan tenaga pemuda yang dicari Ahmad Soekarno itu.

Para minoritas lansia di dasan perlu keluar bersama sama tidak hanya berbaris ke masjid masjid tapi ke seluruh pelosok dasan dasan dan memontong untuk menyentuh tangan dan menatap wajah pemuda kita. Jangan sampai warisan yan tersembunyi, yang tinggal diantara gigi ompong para tetua kita hilang sebelum didengar, dicamkan dan dimengerti oleh sang pemuda harapan. Semua persoalan yang kita keluhkan berawal dari satu hal sepele dan satu orang, maka kita harus menyelesaikan semua persoalan juga dari hal kecil dan sepele dan satu orang yaitu diri kita, keluarga kita dan tetangga kita. Mari kita mulai sekarang dan disini. Rahayu Bangsa Sasak!

Wallahualambissawab

Demikian dan maaf
Yang ikhlas

Hazairin R. JUNEP

Siberia 4 Desember 2009

SimpleWordPress

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here