Orang Lombok Hidup untuk 3M

Website Instan

[Sasak.Org] Bulan Agustus yang lalu ketika mudik ke KLU saya diundang untuk hadir di sebuah resepsi pernikahan teman. Biasanya di Lombok dalam setiap acara pernikahan ada yang namanya nasehat perkawinan (padahal khutbah nikah itu kalau dialihbahasakan ke bahasa Sasak atau Indonesia sudah cukup untuk nasehat perkawinan…).

Ketika sampai di sana, saya melihat ada sedikit kepanikan di kalangan keluarga mempelai karena Tuan Guru yang akan menyampaikan nasehat perkawinan tidak dapat hadir. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saya diminta untuk mengambilalih tugas Tuan Guru tadi. Giliran saya yang mulai panik. Maklum bab nasehat menasehati ini bukan profesi saya, apalagi menasehati pengantin baru… waduh…dalam hati saya..gawat ini..

Sepanjang prosesi pernikahan saya menjadi tidak focus dan hilang selera makan, bingung memikirkan apa yang akan saya sampaikan nanti dalam nasehat perkawinan. Saya memutar otak, sekali-sekala flash back ke masa lalu mengingat segala yang pernah saya baca untuk dijadikan bahan bicara. Tiba-tiba saya teringat pernah menumpang di mobil dinas salah seorang wakil ketua DPRD NTB periode yang lalu. Di sana saya menemukan beberapa helai kertas sepertinya itu bagian dari desertasi yang belum rampung. Di salah satu kertas itulah saya menemukan uraian tentang 3M. lalu saya coba mengolah istilah 3M itu dalam otak saya, seolah-olah terjadi proses sintesis sampai saya merasa berhasil merumuskan sebuah kesimpulan. Saya mulai merasa sedikit tidak galau. Akhirnya saya putuskan untuk membahas tentang 3M dalam nasehat perkawinan ini walaupun sedikit tidak relevan. Dan inilah yang ingin saya tulis dalam artikel ini.

3M yang saya maksudkan adalah MERARIQ, MEKAH dan MATE.
Kebetulan pada waktu itu bulan Dzul Qa’dah menjelang masuknya musim haji. Dan pada waktu itu juga di Lombok sedang musim kawin. Di kampung saya waktu itu sekitar tujuh orang yang menikah dalam sebulan. Belum lagi di kampung sebelah kiri dan kanan. (pesan saya untuk teman-teman, kalau lagi musim kawin jangan melakukan perjalanan sore hari..maceet…bukan karena antrean mobil…tapi banyak kecimol..haha…).

Jika dibaurkan sisi agama dan budaya, orang Lombok ini adalah orang yang taat berbudaya dan beragama. Penerapan nilai-nilai agama dan budaya ini bisa dilihat berdasarkan kecenderungan masyarakat Lombok terhadap 3M itu tadi. 3M bagi masyarakat Lombok seolah-olah telah menjadi sebuah ketetapan absolute sebagai objektif hidup yang harus dicapai. Terlepas dari perdebatan hukum fiqh dan usul fiqh, 3M telah menjadi symbol dan falsafah dalam kehidupan masyarakat Lombok. Coba kita perhatikan satu persatu.

MERARIQ atau menikah dalam Islam sangat dituntut untuk melakukannya dengan proses yang sederhana, mahar yang sederhana, juga dengan resepsi yang tidak berlebih-lebihan. Tapi coba perhatikan masyarakat Lombok. Merariq sepertinya telah menjadi sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan budaya mulai dari proses wakuncar, merariq (mencuri gadis), tawar menawar uang adat (pisuka, awiq-awiq dll.), akad nikah sampai pada acara nyongkolang. Untuk melalui tahapan-tahapan ini maka sudah tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Teman saya setahun yang lalu dalam proses tawar menawar adat diminta menyerahakan 10 ekor kerbau. Setelah terjadi tawar menawar akhirnya disepakati menjadi 5 ekor (tentu saja ini kasus terkecuali..).

Nah, kalau dianalisa ada efek yang timbul dari proses panjang Merariq ini. Orang-orang Lombok terpaksa harus mencari musim yang tepat untuk merariq. Biasanya akan diadakan pada musim panen. Musim di mana orang-orang Lombok sedang berduit. Oleh itu tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan musim panen sinonim dengan musim kawin, musim paceklik adalah musim cerai. Budaya ini juga secara tidak langsung telah membentuk pola berfikir orang-orang Lombok dalam bekerja khususnya bertani yaitu PETE KEPENG ISIQ MERARIQ. Kalau dihubung-hubungkan, kenapa IPM NTB tidak meningkat? Hipotesis saya, karena mindset masyarakat Lombok dalam bekerja bukan untuk kaya, tapi untuk Merariq. Sehinga salah satu indicator IPM yaitu ekonomi menjadi sulit terangkat, karena adat budaya lebih diprioritaskan ketimbang ekonomi. Ibarat kata orang Minang “Biar mati anak asal jangan mati adat” itulah juga prinsip orang Lombok.

Kedua MEKAH. Siapa yang tidak kenal dan tidak ingin ke Mekah? Sebuah kota idaman setiap umat Islam yang disebut dengan banyak istilah dalam al-Qur’an seperti al-Balad, Bakkah dan lain sebagainya. Silakan tanya kepada orang-orang Lombok khususnya yang sudah Merariq, mayoritas mereka pasti mengidamkan kota yang satu ini. Tapi mari kita lihat kenapa Mekah seolah-olah menjadi tujuan hidup orang Lombok.

Andai pemerintah menentapkan ONH sebanyak Rp.40 juta. Kemudian orang Lombok mempunyai uang sebanyak Rp.50 juta. Saya sangat sangat yakin jumlah itu tidak cukup untuk biaya berangkat ke Mekah walaupun ada saldo Rp.10 juta. Saya pernah menghadiri acara pra-haji (orang Lombok menyebutnya ziarah…) ke beberapa jamaah haji di Lombok lebih dari lima kali tiap-tiap satu jamaah. Dalam setiap acara, tamu yang hadir tidak kurang dari 50 orang. Bayangkan berapa biaya makan dan minum plus tembakau dan dolar (bukan dolar Amerika lho, dolar kertas rokok….) yang harus disediakan setiap acara. Belum lagi biaya dekorasi dan biaya membuat tenda hijau…(Tenda hijau ini di Lombok biasanya khusus untuk jamaah haji karena beratapkan daun kelapa yang masih basah dan berwarna hijau….kalau tenda biru itu untuk Merariq..kata Desi Ratnasari…). Belum lagi acara pasca haji. Seperti sudah menjadi kewajiban bagi jamaah haji untuk untuk mengadakan acara selamatan setelah seseorang pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi tidak cukup hanya bermodalkan Rp.50 juta. Akhirnya apa yang terjadi? Kembali lagi kepada “domino effect” seperti yang saya sebutkan di awal tadi. Ungkapan “miskin gak papa, yang penting bisa haji..” menjadi sebuah slogan lumrah. Sebuah slogan yang lahir dari sikap memprioritaskan nilai budaya di atas nilai ekonomi.

Ketiga, MATE. Apa iya mati adalah tujuan hidup orang Lombok?
Sebenarnya kematian itu bukan tujuan hidup, kematian hanyalah proses dari sebuah kehidupan yang lebih kekal. Tapi bukan ini yang ingin kita bahas. Orang Lombok hidup untuk Mate maksud saya adalah ketika objektif 2M yang telah kita sebutkan di atas telah tercapai, orang Lombok sudah mulai memikirkan dan menghitung-hitung apa yang dimiliki. Oleh karena begitu hebatnya penerapan nilai-nilai budaya dan agama, orang Lombok sanggup menyisihkan hartanya sebagai ungkapan rasa cinta terhadap nilai budaya dan agama ketika dia telah Mate kelak. Karena ketika seseorang meninggal dunia, ada beberapa tahapan-tahapan budaya yang harus dijalankan, dan ini sudah tentu memerlukan biaya. Klimaksnya adalah pada acara NYIWAK atau hari kesembilan kematian. Pada hari kesembilan ini lah acara besar-besaran diadakan, minimal menyembelih seekor sapi.

Sebelum meninggal dunia sebagian besar orang Lombok telah memikirkan sedetail-detailnya hal ini. Bahkan sahabat saya menceritakan al-marhum ayahnya telah menyiapkan seekor sapi sebelum beliau meninggal untuk disembelih ketika hari kesembilan kematiannya. Bukan hanya ini. Efek dari MATE ini juga menyebabkan sebagian ahli waris lebih care kepada keluarganya yang telah mati dibanding ketika masih hidup. Ketika sang ayah sakit dan harus dibawa ke rumah sakit, anak-anak seringkali saling mengandalkan, siapa yang bawa ayah ke rumah sakit, siapa yang bayarkan ayah obat, siapa yang jaga ayah dan bla..bla..bla.. Tapi lihat ketika sang ayah sudah meninggal, sepertinya semua orang kompak patungan membeli segala keperluan untuk acara tahlilan, biaya menelung, mituq dan menyiwak bahkan acara haul.

Kondisi seperti ini menyebabkan orang Lombok berfikir dan berusaha menyiapkan segala sesuatu sebelum kematian itu datang. Tidak cukup dengan ibadah-ibadah mahdhah sewaktu masih hidup, tapi juga harus disertai dengan persiapan materi untuk keperluan mengamalkan nilai-nilai budaya walaupun setelah Mate.

Jadi kesimpulannya, filosofi 3M masyarakat Lombok mungkin menjadi salah satu sebab kenapa Indeks Pembangunan Manusia NTB tidak meningkat. Karena filosofi 3M ini hanya memprioritaskan nilai budaya, bukan ekonomi. Sedangkan budaya bukan merupakan salah satu indicator IPM. Jadi sehebat apapun penerapan nilai budaya, jika ekonomi tidak meningkat tidak akan pernah mampu meningkatkan level IPM. Tapi jangan sampai upaya peningkatan ekonomi harus mengorbankan nilai-nilai budaya.

Zaki Abdillah –KLU-

SimpleWordPress

5 COMMENTS

  1. setuju dengan isi tulisan anda. mari kita sebagai orang sasak berbuat untuk merubah mindset orang sasak dengan kebiasaan yang tidak produktif itu. tuan guru-tuan guru kita belum berhasil dengan dakwah yang dilakukan setiap hari. keduluan mereka tergiur dengan jabatan-jabatan politik. subhanallah.

  2. setuju dengan isi tulisan anda. mari kita sebagai orang sasak berbuat untuk merubah mindset orang sasak dengan kebiasaan yang tidak produktif itu. tuan guru-tuan guru kita belum berhasil dengan dakwah yang dilakukan setiap hari. keduluan mereka tergiur dengan jabatan-jabatan politik. subhanallah.

  3. Berdiri pada tempat masing-masing. Yang menjadi pejabat jadilah pejabat, yang menjadi tuan guru, jadilah tuan guru yang sebenarnya,yang jadi politikus jadilah politikus ulung. Aku sangat bangga menjadi orang Lombok, Lombok itu Lurus, orang lurus itu selalu berjalan diarah yang telah digariskan tuhan. Lombok bagian dari indonesia, indonesia butuh arah yang Lombok (lurus) untuk mencapai kesuksesan.

  4. Berdiri pada tempat masing-masing. Yang menjadi pejabat jadilah pejabat, yang menjadi tuan guru, jadilah tuan guru yang sebenarnya,yang jadi politikus jadilah politikus ulung. Aku sangat bangga menjadi orang Lombok, Lombok itu Lurus, orang lurus itu selalu berjalan diarah yang telah digariskan tuhan. Lombok bagian dari indonesia, indonesia butuh arah yang Lombok (lurus) untuk mencapai kesuksesan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here