Robohnya Pilar Masjid Kami

Website Instan
Robohnya Pilar Masjid Kami
Oleh: M Roil Bilad

 

 

Waktu berjalan maju dan usia menyusut setiap hari
Meninggalkan masa lalu dan merubah peristiwa menjadi cerita
Melibas yang terlena dan memanggul yang berusaha

[Sasak.Org] Kisah ini adalah kisah nyata bukan dongeng dari negeri seribu satu malam. Kisah ini adalah kisak orang-orang sasak yang biasa ditemukan hampir disetiap pelosok pulau seribu masjid. Ketika melihat ke surut ke belakang bertahun-tahun yang lalu, rentetan peristiwa berlalu dengan cepat merubah prilaku dan budaya masyarakat sasak. Perubahan itu begitu tenang seolah diam tidak kentara seakan-akan begitu-begitu saja. Kita mesti berhenti sejenak memandang kebelakang keluar dari diri kita agar bisa melihat secara seksama apa yang telah berubah. Jangan sampai kita tersadar ketika sudah terperosok jatuh kedalam jurang yang dalam. Waktu terus berlalan, sementara usia semakin surut dan tantangan semakin besar.

Sesungguhnya setiap putra putri bangse sasak adalah seorang santri. Karena rutinitas kehidupan yang dilalui adalah mengaji. Hidup kami sehari-hari adalah bagian dari simfoni religi yang merasuk dalam setiap sendi aktifitas sehari-hari. Anak-anak kecil dibuai dengan alunan dzikir dan sholawat nabi untuk menghentikan buraian air matanya dari tangis. Balita bernyanyi bersuka ria dengan menyenandungkan nadzom-nadzom ilmu nahwu dan tajwid yang di karang oleh para ulama dan tuan guru. Pemuda-pemudi mengaji di tahasus-tahasus kampung untuk mendalami kaedah-kaedam islami. Sementara sehari-hari disetiap fragment peristiwa, kami mendengar pelafalan kalimatuttayyibah sebagai umbul-umbul  racikan aqidah yang terpatri dalam hati. 
Pagi hari ketika fajar segera menyingsing, udara dipenuhi oleh frequensi ilahi dari gelombang suara alunan bacaan al-quran qori’-qoriah terbaik di negeri ini. Di gaungkan dari pengeras suara masjid dan santren di setiap kampung dari pusat kota, hingga dibalik ketinggian rinjani disela-sela kabut yang turun dipagi hari. Orang tua tersungut-sungut membangunkan anak-anaknya sambil melantunkan sholawat. Lantunan azan dan sholawat mengema tuk menyongsong matahari. Disetiap pagi, hati disarimi oleh tausiah-tausiah ustadz yang disuarakan dari masjid ke setiap sudut rumah. Begitulah setiap waktu, frekuansi udara terus difibrasi oleh simfoni-simfoni ilahi. Maka tidak heran tanah ini menjadi tanah seribu masjid, masjid menjadi pusat da’wah yang menggemakan amar makruf nahi mungkar setiap hari. Tanah lombok adalah tanah santri, mematri hati setiap sasak dengan nilai-nilai ilahi tanpa mereka sadari. 
Anak-anak sasak dilahirkan sebagai santri. Selain sekolah negeri dipagi hari, sore hari mereka belajar mengaji di madrasah-madrasah. Menjelang magrib mereka mempersiapkan diri mengaji di masjid, berjalan menyusuri gelapnya malam dengan obor bersumbu sabut kelapa dari bambu atau daun pepaya. Di masjid, mereka memeong-meongkan mulutnya untuk melafalkan mahroj kho’, untuk belajar mengaji. Pantang bagi putra/putri lombok untuk tidak bisa mengaji. Menjelang tidur mereka mendengarkan cerita tentang sirah nabi-nabi, kisah kepahlawana Salahudin al-ayubi, dan pahlawan pejuang islam lainnya. Untuk tidur dalam minmpi-mimpi indah dalam selimut ketaqwaan yang terus-menerus menempa hidupnya.

Masjid itu sepi kini,
Suara Udin yang memenyong-menyongkan mulutnya melafalkan mahroj Kho’
Kini digantikan ringikan jengkrik dan tokek yang menertawakan nasib bangsaku.
Sementara amaq merbot, khusuk berdzikir merindukan syurga.
Terpekur dalam dinginnya angin malam yang membuai

Apa yang terlihat kini ternyata tidak mencerminkan masa lalu. Gelombang hedonisme telah begitu mencengkram urat nadi sehingga apa yang terlihat kini malah bersebrangan dengan masa lalu. Anak-anak sibuk menonton hiburan televisi dan bermain dengan play station. Pemuda-pemuda hanya percaya diri jika punya HP dan sepeda motor. Sepanjang hari hanya disibukkan dengan ber-SMS ria dan otak-atik sepeda motor. Pada hari ini, tidak sedikit dari pemuda-pemusi sasak yang tidak mau sekolah jika tidak punya HP berkamera atau motor baru yang mengkilap oleh polesan kit. Mejelis pengajian tuan guru hanya untuk yang sudah renta, sedangkan para pemuda hiruk pikuk meramaikan konser-konser musik artis-artis ibu kota. Amaq-amaq sibuk menghirup kopi panas dan menghisap rokok gudang garam, Inaq tidak ingin sekalipun melewatkan satu seripun dari sinetron televisi. Tanah seribu masjid ini telah tertunduk lesu malu kehilang kebanggaan yang dulu disandangnya dengan penuh martabat dan kemulyaan.

Masjid itu sepi kini,
Pilarnya mulai rapuh termakan rayap hedonisme
Merayap meninggalkan ruang waktu dengan menangis…
Menahan diri dari  roboh dan menjadi kisah masa lalu

Lihatlah ke depan, dalam lipatan ruang waktu. Merenunglah sejenak untuk menjawab pertanyaan retoris dari kitab suci itu. “Fa aina tadzhabuun”,  maka kemanakah kamu akan pergi? (At Takwiir: 26). Maka kemanakah bangsa sasak ini akan melaju dalam perjalanan waktu. Kita telah terlanjur terperosok, terlalu tamak untuk mengadopsi hedonisme dan melupakan karakter sejati yang telah miliki. 
Semua harus kita selesaikan saat ini juga. Semakin diulur dan ditunda kita akan semakin terdesak dan terperosok. Ini adalah tanggung jawab dari setiap putra-puri dari tanah seribu masjid. Inilah saat dimana dituntut seorang kakak meluangkan waktunya untuk menyimak adiknya mengaji. Seorang bapak berhenti sejenak dari menyeruput kopi panas dan menghirup rokok untuk menyuruh anaknya sholat. Seorang ibu memati
kan sejenak televisi untuk mengingatkan anaknya belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Seorang kakek dan nenek yang membelai kepala cucunya di tempat tidur sambil bercerita tentang kisah-kisah para nabi. Inilah saatnya seorang teman menyuarakan nurani dengan mengatakan kebenaran dan menasehati ketimbang membiarkan sahabatnya mengkonsumsi drug dan pornografi atas nama toleransi. Inilah saatnya kita menyandang kembali peranan sebagai penjaga dari anak kita, penjaga suami kita, penjaga istri kita, penjaga teman kita, penjaga tetangga kita, penjaga masyarakat kita, penjaga tanah kita. Jangan sampai pilar itu semakin rapuh dan roboh tidak kuat menahan terpaan angin dari segala penjuru yang mencoba mengerogoti martabat kita. 

Masjid itu sepi kini,
Pilarnya kini rapuh

Namun dia tetap kokoh berdiri
Menunggu Udin yang ngos-ngosan kembali dengan berlari.
Wallahu A’lam 
SimpleWordPress

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here